![ForBINA Desak Penegakan Hukum Konservasi yang Adil di Aceh](https://jakselpos.com/wp-content/uploads/2025/01/20241229-Direktur-Forbina-Aceh-Muhammad-Nur.jpeg-e1736230784982-1024x594.webp)
https://www.antaranews.com
Jakarta Selatan Pos – Forum Bangun Investasi Aceh (ForBINA) meminta Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh untuk menegakkan hukum konservasi secara adil tanpa tebang pilih. Hal ini disampaikan menyusul kasus kematian seekor gajah liar di Desa Baro Paya-Desa Sibintang, Kecamatan Panton Reue, Aceh Barat, yang terjadi pada 1 Januari 2025.
Gajah betina berusia 30 tahun tersebut ditemukan mati di area konsesi PT Sapta Pesona Jaya Abadi. Kepala BKSDA Aceh, Ujang Wisnu Barata, menyatakan bahwa kematian satwa dilindungi itu disebabkan oleh luka pada kakinya yang membuatnya terjebak di lumpur. Ia menegaskan bahwa kematian gajah ini murni karena faktor alamiah, bukan karena tindakan manusia. Pernyataan tersebut disampaikan Ujang melalui sambungan telepon pada 4 Januari 2025.
Namun, Direktur ForBINA Aceh, Muhammad Nur, mempertanyakan langkah hukum yang diambil BKSDA terhadap perusahaan yang arealnya menjadi lokasi kematian satwa liar tersebut. Ia menilai BKSDA selama ini cenderung tidak memberikan sanksi kepada perusahaan besar yang lalai, meskipun jelas melanggar aturan yang berlaku. Sebaliknya, tindakan hukum kerap dilakukan terhadap masyarakat kecil jika kasus serupa terjadi di lahan perkebunan mereka.
Muhammad Nur mengacu pada Qanun Aceh No. 11 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Satwa Liar yang secara tegas menyebutkan adanya sanksi administrasi bagi perusahaan pemegang izin yang lalai hingga membahayakan satwa liar. Sanksi tersebut dapat berupa penghentian sementara pelayanan administrasi, penghentian kegiatan di lapangan, hingga pencabutan izin. Namun, hingga saat ini, ia melihat aturan tersebut belum diterapkan secara maksimal terhadap perusahaan-perusahaan besar di Aceh.
Selama tahun 2024, Aceh mencatat 180 kasus konflik antara manusia dan satwa liar. Angka ini menunjukkan penurunan sebesar 21 persen dibandingkan tahun 2023 yang mencatat 218 kasus. Meski begitu, jumlah konflik selama lima tahun terakhir masih sangat memprihatinkan, dengan total 896 kasus sejak 2019 hingga 2024. Data ini menunjukkan bahwa persoalan konflik antara manusia dan satwa liar di Aceh masih menjadi tantangan serius yang perlu segera diselesaikan.
Selain kasus kematian gajah, Muhammad Nur juga menyoroti penanganan konflik agraria di kawasan konservasi, seperti yang terjadi di Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Ia menyebut bahwa penggunaan aparat keamanan untuk menertibkan lahan masyarakat bukanlah solusi yang tepat. Pendekatan semacam ini dinilai tidak hanya tidak efektif tetapi juga berpotensi memicu konflik baru antara warga dengan pihak BKSDA, mengingat sejarah panjang konflik sosial di Aceh.
Menurutnya, pendekatan yang lebih humanis dan tidak merugikan masyarakat kecil harus diutamakan. Tindakan seperti perusakan lahan atau pemusnahan komoditas pertanian milik warga dinilai sebagai bentuk arogansi yang hanya akan memperburuk hubungan antara masyarakat dan pihak berwenang.
ForBINA juga meminta Pemerintah Aceh untuk mendesak pemerintah pusat agar segera mengevaluasi kinerja BKSDA Aceh. Muhammad Nur menekankan bahwa pelestarian satwa liar, seperti gajah, merupakan bagian penting dari investasi besar Indonesia dalam melindungi keanekaragaman hayati. Ia berharap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memberikan perhatian khusus terhadap isu-isu konservasi di Aceh, termasuk menindaklanjuti kegagalan BKSDA dalam menjalankan tugasnya.
Selain itu, ia juga menegaskan pentingnya menghormati hak-hak masyarakat adat serta kearifan lokal yang berlaku di Aceh. Pelestarian lingkungan dan perlindungan satwa liar harus dilakukan tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat kecil yang menggantungkan hidupnya pada lahan pertanian.
ForBINA menilai bahwa keberhasilan konservasi di Aceh tidak hanya bergantung pada penegakan hukum, tetapi juga pada keterlibatan masyarakat lokal sebagai mitra aktif dalam menjaga keanekaragaman hayati. Dengan sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya, tantangan konservasi di Aceh dapat diatasi secara lebih efektif demi keberlanjutan ekosistem dan masa depan yang lebih baik.