Jaksel Pos – Pekerja migran Indonesia (PMI) yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di kawasan Taman Putra Sulaiman, Kuala Lumpur, dilaporkan mengalami kekerasan fisik dari majikannya. Kasus ini mencuat setelah pengaduan resmi diterima oleh pihak kepolisian setempat.
Kepala Polisi Daerah Ampang Jaya, ACP Mohd Azam Ismail, dalam keterangan persnya, mengungkapkan bahwa pengaduan pertama kali diterima pada Minggu, 13 Oktober 2024, sekitar pukul 14.25 waktu Malaysia. Pengadu adalah seorang perempuan berusia 25 tahun, warga negara Indonesia, yang telah bekerja sebagai pembantu rumah tangga di alamat tersebut selama dua tahun.
Dalam pengaduannya, PMI tersebut mengklaim bahwa ia telah mengalami kekerasan fisik yang dilakukan oleh majikannya, yang terdiri dari dua perempuan lokal. Penganiayaan tersebut dilakukan dengan menggunakan berbagai alat, termasuk palu, penjepit besi, dan seterika panas, yang menyebabkan luka pada bagian tangan dan kaki sebelah kanan dan kiri.
PMI yang mengalami kekerasan ini berhasil melarikan diri dari rumah majikannya dan mencari pertolongan dari masyarakat sekitar. Menurut ACP Mohd Azam, motif di balik tindakan kekerasan tersebut adalah tuduhan dari majikan yang menganggap PMI itu malas dan sering lupa dalam melaksanakan pekerjaan rumah yang telah diarahkan.
Menindaklanjuti laporan tersebut, pada Senin, 14 Oktober, sekitar pukul 11.30, tim petugas dan anggota Divisi Investigasi Kriminal Distrik (BSJD) Ampang Jaya berhasil menangkap dua wanita berusia 40 dan 61 tahun yang merupakan majikan dari PMI tersebut di kawasan Taman Putra Sulaiman, Kuala Lumpur. ACP Mohd Azam menyebutkan bahwa kedua pelaku tidak memiliki catatan kriminal sebelumnya dan saat ini telah diberikan jaminan polisi sambil menunggu penyelidikan lebih lanjut.
Kasus ini kini sedang diselidiki berdasarkan Pasal 324 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang mengatur mengenai penganiayaan dengan menggunakan senjata. Berdasarkan undang-undang tersebut, hukuman bagi pelaku dapat berupa penjara hingga tiga tahun, denda, atau cambuk, atau kombinasi dari kedua jenis hukuman tersebut.
Kejadian ini menggambarkan situasi yang dihadapi oleh banyak pekerja migran, terutama PMI yang bekerja di luar negeri. Kekerasan fisik dan perlakuan tidak manusiawi sering kali dialami oleh mereka dalam upaya mencari nafkah untuk keluarga di tanah air. Selain itu, kasus ini juga menunjukkan pentingnya perlindungan dan keadilan bagi pekerja migran, yang sering kali berada dalam posisi rentan di negara asing.
Para penggiat hak asasi manusia dan lembaga terkait di Indonesia dan Malaysia diharapkan dapat mengambil langkah-langkah konkret untuk memberikan perlindungan yang lebih baik kepada pekerja migran. Hal ini mencakup sosialisasi mengenai hak-hak mereka, penyediaan akses ke layanan hukum, dan dukungan psikologis bagi korban kekerasan.
Kekerasan terhadap PMI tidak hanya merugikan individu, tetapi juga menciptakan dampak sosial yang lebih luas. Oleh karena itu, penanganan yang cepat dan tegas terhadap kasus-kasus semacam ini sangat penting untuk mencegah terulangnya kekerasan di masa mendatang.