
Jakarta Selatan Pos – Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Nany Afrida, menyatakan bahwa kecerdasan buatan (AI) atau teknologi Artificial Intelligence tidak dapat menggantikan pekerjaan jurnalistik. Menurutnya, meskipun teknologi ini dapat berperan sebagai alat pendukung, AI bukanlah dasar dari praktik jurnalistik itu sendiri. Pernyataan ini disampaikan oleh Nany dalam seminar nasional yang bertema “Media Masa Depan Bersama AI,” yang diadakan di kampus Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh pada hari Selasa.
Nany menegaskan bahwa meskipun AI dapat digunakan untuk membantu proses kerja jurnalistik, produk yang dihasilkan dari AI tidak dapat dianggap sebagai karya jurnalistik. Ia menjelaskan bahwa dalam jurnalistik, terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui sebelum sebuah berita diterbitkan, seperti pencarian informasi, konfirmasi, penulisan, dan distribusi. Semua tahapan ini, menurutnya, tidak dapat sepenuhnya dilakukan oleh teknologi AI.
Dalam konteks ini, jurnalis dituntut untuk memberikan laporan yang akurat dan berlandaskan pada kejadian yang sesungguhnya. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa AI tidak bisa sepenuhnya menggantikan peran jurnalis dalam menghasilkan berita. Nany menekankan bahwa data yang disampaikan dalam laporan jurnalistik harus dapat dipertanggungjawabkan dan diverifikasi, hal yang sangat sulit dilakukan oleh kecerdasan buatan.
Lebih lanjut, Nany menjelaskan bahwa meskipun teknologi terus berkembang, jurnalis tetap memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga kualitas berita. Ia mengungkapkan keyakinannya bahwa meskipun ada peran AI dalam dunia jurnalistik, profesi ini tidak akan hilang. AI hanya akan berfungsi sebagai alat untuk mendukung efisiensi kerja jurnalis, namun keputusan dan analisis yang lebih mendalam tetap membutuhkan sentuhan manusia.
Di sisi lain, Nany juga mengakui bahwa perkembangan teknologi, termasuk AI, tidak bisa dihindari. Oleh karena itu, tantangan terbesar yang dihadapi oleh dunia jurnalistik adalah bagaimana menjaga independensi dan transparansi meskipun teknologi baru seperti AI mulai digunakan dalam pekerjaan mereka. Salah satu langkah penting yang perlu diambil oleh media adalah membuat pedoman yang jelas mengenai penggunaan AI dalam proses jurnalistik. Pedoman ini, menurut Nany, harus mencakup aspek etika dan transparansi agar tidak ada kebingungannya mengenai mana yang merupakan hasil kerja jurnalistik dan mana yang berasal dari bantuan AI.
Tantangan lainnya yang dihadapi oleh Indonesia terkait penggunaan AI dalam jurnalistik adalah belum adanya regulasi yang jelas mengenai pemanfaatan teknologi tersebut. Nany mengungkapkan bahwa hingga saat ini, belum ada undang-undang yang secara spesifik mengatur penggunaan AI dalam dunia jurnalistik di Indonesia. Selain itu, literasi mengenai teknologi AI juga menjadi tantangan besar, baik bagi media maupun para jurnalis itu sendiri. Seberapa jauh pemahaman mereka terhadap teknologi ini dan bagaimana mereka bertanggung jawab atas penggunaannya adalah hal yang perlu mendapat perhatian lebih.
Nany mengakhiri pembicaraannya dengan mengingatkan bahwa meskipun kita tidak bisa menghindari kemajuan teknologi, penting bagi jurnalis untuk dapat memanfaatkan teknologi ini secara bijaksana. Teknologi, termasuk AI, dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi dalam bekerja, namun tetap harus dilandasi dengan tanggung jawab dan pemahaman yang mendalam agar tidak mengorbankan prinsip dasar jurnalistik.