Jaksel Pos – Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Idham Holik, menegaskan bahwa Formulir C1 yang digunakan dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 sudah sesuai dengan peraturan yang ada, khususnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada). Pernyataan ini menyikapi temuan yang disampaikan oleh Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), yang mengungkapkan adanya kesalahan dalam dokumen Form C1 yang dicetak dan diterima petugas KPU di beberapa daerah. SPD menyebutkan bahwa dokumen tersebut tidak sesuai dengan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Idham Holik menjelaskan bahwa Form C1 yang digunakan sudah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 95 UU Nomor 8 Tahun 2015. Menurutnya, KPU juga telah mengacu pada Peraturan KPU Nomor 17 Tahun 2024 yang mengatur tentang pemungutan dan penghitungan suara dalam Pilkada, termasuk Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Aturan ini, kata Idham, juga sudah disesuaikan dengan ketentuan dalam UU Pilkada.
Dalam Peraturan KPU tersebut, terdapat penjelasan terkait pemilih pindahan dan pemilih tambahan. Pemilih pindahan adalah pemilih yang telah terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT), namun karena alasan tertentu, pemilih tidak dapat menggunakan hak pilih di tempat pemungutan suara (TPS) yang sesuai dengan alamat terdaftarnya. Pemilih ini kemudian dapat memilih di TPS lain dan dicatat dalam daftar pemilih pindahan. Sedangkan pemilih tambahan adalah pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT, namun memenuhi syarat untuk menggunakan hak pilihnya pada hari pemungutan suara, dan dicatat dalam daftar pemilih tambahan.
Namun, SPD mengungkapkan bahwa kesalahan dalam Form C1 terkait penggunaan istilah pemilih yang tidak sesuai dengan peraturan yang ada. Peneliti SPD, Dian Permata, menyatakan bahwa penggunaan terminologi yang keliru dalam dokumen Form C1 menjadi masalah. Dalam laporannya, Dian mengungkapkan bahwa KPU tidak konsisten dalam menggunakan istilah DPT (Daftar Pemilih Tetap), DPTb (Daftar Pemilih Tambahan), DPK (Daftar Pemilih Khusus), dan seterusnya. Dia menyebutkan bahwa DPK sebenarnya tidak ada dalam pelaksanaan pilkada, karena istilah tersebut hanya digunakan dalam pemilu yang meliputi pemilihan presiden dan wakil presiden, serta pemilihan anggota legislatif.
Pada sistem pemilu, terdapat tiga jenis daftar pemilih yang digunakan, yaitu DPT, DPTb, dan DPK, sementara dalam pilkada, yang digunakan adalah DPT, DPTb, dan pemilih pindahan. Dian menyebutkan bahwa dalam Form C1 yang ditemukan di daerah seperti Banten, terdapat kesalahan besar terkait dengan penggunaan istilah yang tidak sesuai dengan regulasi pilkada 2024. Misalnya, istilah daftar pemilih khusus (DPK) yang seharusnya tidak ada dalam pilkada, justru tercetak dalam Form C1, padahal yang seharusnya digunakan adalah istilah daftar pemilih pindahan (DPP). Selain itu, daftar pemilih pindahan (DPP) yang tercetak dalam Form C1 seharusnya menggunakan singkatan DPTb, sementara daftar pemilih tambahan malah menggunakan singkatan DPK.
Sebagai solusi, SPD mendorong KPU untuk segera memperbaiki Form C1 yang telah dicetak dan disebarkan ke seluruh tempat pemungutan suara (TPS). Hal ini penting untuk menghindari kebingungan di tingkat Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang akan menggunakan formulir tersebut dalam proses penghitungan hasil perolehan suara pasangan calon kepala daerah. SPD juga menyarankan agar KPU segera mencetak ulang Form C1 secara serentak di seluruh Indonesia, mengingat kesalahan ini dapat memengaruhi pemahaman dan konsistensi penyelenggara pemilu di level bawah.
Dian Permata mengingatkan bahwa jika kesalahan ini dibiarkan tanpa pembenahan, akan ada kebingungan dan potensi ketidaksesuaian data yang dapat mengganggu kelancaran pelaksanaan pilkada. Oleh karena itu, SPD mendesak KPU untuk melakukan revisi terhadap formulir tersebut agar tidak ada kebingungan lebih lanjut di lapangan.
KPU, sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang bertanggung jawab terhadap kelancaran pilkada, diminta untuk segera mengambil langkah tegas dalam mengatasi permasalahan ini agar proses pilkada dapat berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan tanpa hambatan teknis yang dapat merugikan proses demokrasi.